Selasa, 31 Mei 2016

Ada Apa Dengan Indonesia dan Buku?





Ada Apa dengan Indonesia dan Buku?

Mungkin, itulah pertanyaan yang beberapa hari terakhir ini mampir di kepala kita semua. Dunia perbukuan, literasi, dan sejenisnya, akhir-akhir ini memang menjadi sorotan banyak orang, terutama di Negara kita tercinta ini. Beberapa fakta mengejutkan, hingga pro dan kontra mulai muncul ke permukaan.  Berbicara tentang buku, perlu kamu ketahui bahwa tanggal 17 Mei kemarin diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Namun, pada postingan kali ini, aku tidak akan membahas tentang euphoria masyarakat terhadap hari buku tersebut atau mungkin membahas tentang apa saja buku yang sedang populer saat ini. Tidak menyangkut hal itu sama sekali.

Ok, akan aku jelaskan mulai dari awal. Berhubung bulan ini bertepatan dengan jatuhnya Hari Buku Nasional seperti yang sudah aku sebut tadi, maka untuk merayakan hari ‘besar’ itu kami—Blogger Buku Indonesia—menyetujui satu tema yang akan dibahas dalam Posting Bareng bulan ini, yaitu tentang buku. All about book! Maka, di Posbar kali ini aku ingin mengangkat sebuah topik bahasan yang sedang panas-panasnya di dunia perbukuan kita. Kontroversi dunia perbukuan. Kita mungkin sudah banyak mendengar tentang masalah yang dialami oleh Negara kita terutama di bidang literasi. Seperti misal; rendahnya minat baca, penjiplakan atau plagiarisme buku, pembajakan buku, hingga pembakaran buku. Tak jarang beberapa kasus ini banyak mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Banyak persepsi, pandangan, dan opini yang berlawanan dari berbagai kalangan, dan tak jarang ini membuat kita bingung. Bingung untuk menentukan mana kebenaran dan kesalahan dari permasalahan yang terjadi. Sehingga masalah pun cenderung berputar-putar dan sulit untuk ditemukan titik terangnya.


Maka dari itu, untuk sedikit menjawab rasa bingung kita semua, aku di sini akan menghadirkan 3 narasumber dari 3 profesi dan status yang berbeda untuk membahas kasus-kasus ini berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Tapi sebelumnya, ada baiknya aku memberitahukan apa saja topik pembicaraan yang akan dibahas tersebut.

Di sini, aku menyediakan 3 rumusan masalah yang mana inilah yang menjadi pokok pembicaraan kita dengan ketiga narasumber nanti:

  1. Topik bahasan: Minat Baca Rendah.
Rumusan Masalah: Bagaimana pendapat Anda terkait rendahnya minat baca yang sedang terjadi di Negara kita ini? Dan bagaimana pula sistem membaca yang ‘asyik’ itu? Sehingga ini bisa menjadi pandangan yang baru bagi masyarakat terhadap kegiatan membaca.

              2.       Topik bahasan: Penjiplakan atau Plagiarisme di Dunia Literasi.
Rumusan Masalah: Menurut Anda apakah kasus plagiarisme dalam dunia literasi bisa terjadi karena unsur ketidaksengajaan? Dan, apa pula tindakan yang seharusnya dilakukan penulis agar karyanya tidak dituding plagiat?

              3.       Topik bahasan: Pembakaran Buku.
Rumusan Masalah: Menurut Anda, apakah tindakan ‘bakar buku’ seperti yang sedang marak akhir-akhir ini menguntungkan atau justru merugikan? Dan, menurut Anda adakah cara yang lebih efektif selain ‘bakar buku’ ini?

Nah, itulah tadi ketiga pokok bahasan yang akan kita bahas bersama ketiga narasumber nanti. Dan sekarang, siapa saja ketiga narasumber kita ini?

Dalam postingan—yang lebih mirip forum diskusi ini—aku telah menghadirkan 3 narasumber dari 3 profesi yang berbeda. Mengapa dari profesi yang berbeda? Karena dengan begitu, kita bisa tahu seperti apakah pandangan dan opini dari ketiga narasumber ini dalam menyoroti permasalahan tadi berdasarkan sudut pandang dari profesi mereka masing-masing.  Dan tentunya profesi yang mereka jalani ini pun masih berkaitan erat dengan buku, dunia literasi, dan sejenisnya. Ketiga narasumberku kali ini yang pertama dari kalangan pelajar, kedua pustakawan, dan ketiga adalah penulis. Nah, kira-kira, bagaimanakah sudut pandang mereka terhadap ketiga permasalahan di atas?

Baik, kita mulai saja ya. Narasumber pertama kita adalah seorang pelajar. Dalam dunia pendidikan, buku merupakan salah satu penunjang ilmu yang sangat penting. Bukan, begitu? Lantas, bagaimanakah tanggapan para pelajar terhadap beberapa permasalahan yang terjadi di dunia perbukuan sekarang?

Berikut aku telah merangkum hasil interview-ku dengan salah satu pelajar SMA di Kabupaten Madiun. Say Hi to Hanida Kurnia Putri \o/


HANIDA - PELAJAR SMA

Sangat menyukai buku-buku Tere Liye

dan buah pisang.

Menurut Hanida….

(1)    Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia karena menerima budaya dari luar yaitu gadget. Sudah umum masyarakat zaman sekarang kemana-mana bawa gagdet. Budaya baca buku yang umumnya dilakukan pelajar, sekarang sudah diganti dengan gagdet yang dilengkapi dengan fitur-fitur sosmed atau pun game yang mengasyikkan. Apalagi sekarang banyak ebook-ebook yang dianggap orang lebih praktis.


Keberadaan gadget mulai menjamur di kalangan anak-anak.

Sumber: disini 

Selain itu, berbicara tentang system baca yang asyik, menurutku tidak melulu harus di dalam ruangan duduk rapi di atas kursi. Tidak harus seperti itu. Kita bisa saja membaca di alam terbuka, misalnya di bawah pohon. Tanah lapang. Atau bahkan pegunungan. Hal tersebut bisa me-refresh otak kita lo.

(2)    Menurut saya bisa saja terjadi karena faktor ketidaksengajaan seperti yang Bintang bilang. Juga karena kesamaan dari pola pikir sang penulis. Menurutku, untuk mengatasinya yaitu; Pertama, jika kita ingin membuat suatu karya, maka sebelumnya kita harus memperbanyak referensi dengan baca buku sebanyak-banyaknya. Kalau misal kita menemui buku dengan cerita maupun premis yang sama seperti apa yang kita buat, lebih baik kita me-revisi dulu karya kita tersebut. Beberapa hal yang memiliki kesamaan coba kita ubah lagi. Kedua, naskah disetorkan harus ada perjanjian bahwa tulisan karya penulis tersebut memang benar karyanya tidak ada plagiat.

(3)    Tentu saya katakan tidak setuju. Karena menurut saya ini benar-benar merugikan terutama bagi kami pelajar yang masih sangat membutuhkan buku-buku untuk menambah ilmu. Menurut saya lebih baik sikap moral dan religius diri sesesorang itu dibentuk terlebih dahulu. Jadi, meski orang tersebut baca buku tentang ideologi menyimpang, kekerasan, dan lain-lain, maka keyakinan (moral/religius) yang sudah tertanam pada diri orang tersebut tidak akan membuatnya terpengaruh pada hal-hal ‘miring’ tadi sedikit pun. Nah, ini berarti adalah PR bagi semua warga Indonesia untuk membentuk karakter anak bangsa yang sesuai dengan Pancasila. Untuk mengatasinya lebih baik diadakan sosialisasi mengenai buku-buku yang menyimpang. Karena menurut saya itu tergantung bagaiamana setiap individu menyikapinya.

Bagaimana? Apakah ada yang setuju dengan pendapat dari sahabat kita Hanida? Atau mungkin, kalian merasa kontra dengan penjelasan Hanida di atas? Tapi meski begitu, ada beberapa penjelasan dari Hanida yang peru kita garis bawahi. Yaitu pada poin nomor 3 (pembakaran buku). Aku cukup sependapat dengan Hanida saat ia bilang bahwa kasus ini tergantung sikap moral dan religius yang ada pada diri seseorang. Jika kita punya pemahaman dan pendirian yang kuat, maka kita pun tidak akan mudah terpengaruh.

Kedua, mari kita beralih ke sudut pandang seorang pustakawan. Aku yakin, pembaca semua pasti sudah tahu apa itu pustakawan, kan? Ya, bekerja sebagai seorang pemustaka, otomatis membuat para pustakawan ini menjadi tahu banyak tentang dunia perbukuan. Tak jarang, banyak pula dari mereka yang ikut ambil peran untuk turut meningkatkan kualitas intelektual anak bangsa melalui buku-buku ilmu pengetahuan atau yang lain.  Lantas, saat dunia perbukuan tengah menjadi sorotan banyak pihak seperti sekarang, seperti apakah sudut pandang seorang pustakawan dalam menyikapi masalah seperti ini? Untuk mengetahuinya, mari kita berbincang-bIncang sejenak dengan salah seorang pustakawan dari SMA NEGERI 2 METRO: Kak Luckty Giyan Sukarno.


LUCKTY G.S - PUSTAKAWAN

Kita sering lupa, bangga dengan timbunan buku yang belum dibaca, 
bangga dengan koleksi yang kita punya, bangga dengan buku yang rapi 
dan klimis karena disampul. 
Tapi kita lupa bahwa buku yang baik adalah buku yang dibaca. 
 –Luckty .G. S— 

 Menurut Luckty….

1.     Mungkin banyak yang tahu kalau aku adalah dari segelintir orang yang tidak percaya dengan minat baca rendah. Aku tinggal di desa yang artinya masyarakatnya masih berpikiran bahwa kebutuhan perut lebih utama dibandingkan dengan budaya baca yang kesannya mahal. Kenapa mahal? Karena harga sebuah buku akan sebanding dengan harga lauk pauk untuk satu keluarga. Tapi aku nggak pernah percaya dengan minat baca rendah meskipun banyak riset yang mengatakan begitu.


Pilihlah buku yang sesuai dengan usia kita.

Sumber: disini 


 Kenapa aku nggak yakin dengan minat baca di Indonesia rendah? Beberapa tahun aku bekerja di beberapa perpustakaan: perpustakaan SMK, perpustakaan sekolah berlabel internasional, perpustakaan museum, perpustakaan universitas swasta, dan perpustakaan universitas negeri, hingga kini bekerja di perpustakaan sekolah, yang menjadi permasalahan bukan pada minat baca rendah tapi pada kesesuaian buku dengan minat si pembaca. Contohnya gini, di perpustakaan sekolah tempat aku kerja, tiap beberapa bulan sekali mendapat giliran jatah koleksi dari perpustakaan daerah. Koleksi yang mereka berikan itu berat-berat; macam genre hukum dan politik. Aku sebagai pustakawan ya bilang ama petugasnya: kalo buku tipe kayak gini buat anak sekolah ya nggak nyampe. Boro-boro minat, dilirik aja nggak x))

Oya, MATA NAJWA beberapa waktu lalu yang bertema ‘Tak Sekedar Membaca’ juga menghadirkan para pejuang literasi yang memang sedang naik daun; ada Pak Ridwan Sururi yang lagi ngetop berkat Kuda Pustaka yang dikelolanya, ada Bang Ridwan Alimuddin yang ngehits dengan Perahu Pustaka, Mbak Okky Madasari yang membuat semacam kampung sastra, dan juga Aan Mansyur yang merupakan penulis sekaligus penyair. Acara malam itu seperti mematahkan bahwa mana minat baca rendah yang selama ini digembor-gemborkan. Aku ulas lengkap DI SINI.

Oya, tahun lalu aku berkenalan dengan Mas Sugeng Hariyono lewat dunia maya. Beliau adalah seorang tambal ban dari Jawa Timur yang merantau ke Lampung. Awalnya beliau membuat pustaka motor karena di daerah rantauannya itu nggak ada perpustakaan. Berbekal uang lima ratus ribu, beliau membeli motor bekas dan sisanya dibelikan buku-buku bekas. Aku pernah wawancara beliau di postingan INI.
Ada juga Kang Ubaidilah Muchtar yang merupakan pendiri Taman Bacaan Multatuli yang merepresentasikan bahwa ternyata anak-anak yang hidupnya di kaki gunung bisa menikmati karya sekelas Multatuli. Ini postingan wawancaranya: DI SINI.

Itu tadi beberapa contoh nyata tokoh masyarakat biasa yang tulusnya luar biasa dalam meningkatkan minat baca. Mereka wujud nyata masyarakat yang terjun langsung untuk mengubah paradigma tentang minat baca, bukan hanya sekedar mempergunjingkan minat baca secara teori. Jika kita terjung langsung di masyarakat, terutama di desa, kita bisa merasakan bahwa sebenarnya permasalahan bukan pada minat baca, tapi akses untuk membaca.

2.       PLAGIARISME. Tanpa disadari, sebenarnya semua pasti mengalami yang namanya plagiarisme. Nggak percaya? Kita pasti pernah (bahkan sering) download lagu atau film secara ilegal. Nggak mungkin munafik, aku juga termasuk. Dulu aku skripsi bahas buku yang diangkat ke fim, yang menarik justru pas sisi film. Ternyata untuk membuat sebuah film, dibutuhkan dedikasi yang luar biasa oleh sebuah tim yang solid, harus menyamakan ide yang ada di masing-masing kepala kru, belum lagi hambatan selama syuting. Dari situ, aku nggak pernah lagi tega nonton film Indonesia bajakan, mentok juga paling nunggu tayang di TV.


Sumber: DI SINI 
Begitu juga dengan dunia literasi, sering sekali kita mendengar berita bahwa seorang penulis ‘tertangkap basah’ menjiplak karya orang lain. Terkadang nggak hanya dialami oleh penulis baru, tapi juga penulis yang memang sudah punya nama. Tanpa disadari, sebenarnya semua orang memiliki semacam role model dalam hidupnya di bidang apa pun itu. Begitu juga dengan penulis, aku juga pernah membaca artikel tentang penulis ternama yang mendapatkan ide untuk menulis karena hasil membaca karya role modelnya itu, tinggal bagaimana mengolahnya. Ibarat memasak, tidak ada resep yang baru, yang ada hanya modifikasi dari resep yang sudah ada. Begitu dengan menulis.

Tapi akan berbeda sekali jika yang jelas-jelas plek menjiplak. Penulis yang baik haruslah orang yang gemar membaca. Karena jika malas membaca, maka pemikirannya akan sempit. Beberapa tahun lalu, ada selebtwit yang menerbitkan buku tertangkap basah mencatut kalimat dari blog orang lain. Awalnya heboh, makin lama beritanya makin surut. Bahkan kini si sang selebtwit itu makin banyak followersnya dan banjir barang endorse. Tapi sangsi sosial tetap akan berlaku. Penerbit mayor memblacklistnya. Terlihat karena kini dia menerbitkan buku lewat penerbit apa-apalah itu x))

3.    Pembakaran buku. Sejujurnya aku belum pernah mengalami langsung yang namanya pembakaran buku. Lha wong cuma penyiangan buku aja musti ati-ati banget, harus ada daftar bukunya, kalau gegabah bisa berabe karena pernah ada kasus di Jogja yang petugas perpustakaan masuk Hotel Prodeo karena menyiangi buku tanpa ada aturan yang jelas.

Tapi aku jadi ingat sebuah ungkapan seorang pustakawan senior yang juga dosen Ilmu Perpustakaan di sebuah universitas negeri ternama yang mengibaratkan perpustakaan seperti pemakaman. Perpustakaan kan beda-beda, ada yang umum, khusus atau spesial. Seperti halnya pemakaman, ada yang khusus seperti makam pahlawan yang artinya yang dimakamkan disitu haruslah yang berlabel pahlawan ataupun makan umum yang semua orang bisa dimakamkan disitu termasuk orang yang mati karena bunuh diri. Nah, tinggal perpustakaan seperti apa yang mau kita kelola. Kuncinya adalah pemustakanya.


Sumber: DI SINI 
Ketika aku kerja di perpustakaan sekolah negeri, beberapa kali mengalami hal penarikan buku, terutama buku dari pemerintah. Buku mapel Sejarah yang covernya dianggap nggak sesuai, padahal aku liat sebenarnya nggak ada aneh. Begitu juga dengan buku mapel Penjasorkes yang diganti pemerintah hanya karena satu-dua halaman ada selipan tentang pacaran. Padahal kalau aku baca juga nggak ada yang kesannya membahayakan. Terkadang pemerintah memang lebay dalam bertindak x))
Omong-omong soal pembakaran buku, jadi keinget Film The Library Wars, pernah aku review di postingan  INI

Dengan membakar buku berarti membakar ilmu pengetahuan.

Nah teman, kita bisa belajar baru lagi dari sudut pandang Kak Luckty sebagai seorang pustakawan. Ada yang menarik dari poin 1 (minat baca). Di situ kita bisa menyimpulkan bahwa Kak Luckty adalah salah satu orang yang kontra terhadap permasalahan rendahnya minat baca yang sering digembor-gemborkan belakangan ini. Dan rupanya penjelasan Kak Luckty mengenai minat baca di atas membukakan satu fakta baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita selama ini. Bukan minat bacanya yang rendah, melainkan adalah kesesuaian buku terhadap si pembacanya. Coba kalian bayangkan, apakah seseorang akan membaca buku yang tidak sesuai dengan selera dan keinginannya? Tidak, bukan? Dan, jika kita pikir lebih lanjut, apa yang disampaikan Kak Luckty ini memang benar adanya. Semua orang bisa saja membaca buku, hanya saja permasalahannya: apakah konteks buku tersebut sesuai dengannya?

Ketiga, seperti yang sudah aku sebutkan di awal, profesi yang satu ini sangat-sangat berkaitan erat dengan buku. Bagaimana tidak, narasumberku yang terakhir adalah seorang penulis buku. Nah, pasti kalian tahu, setiap ada penulis, pasti ada buku, begitu pun sebaliknya. Menulis adalah berkarya, dan karya atau hasil dari sebuah tulisan pastinya adalah buku. Melihat beberapa permasalahan pelik seputar dunia buku sekarang ini, rasanya tak lengkap apabila kita tidak membicarakannya langsung dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya—penulis buku.

Dan, salah seorang penulis buku yang akan kita ‘introgasi’ kali ini adalah Kak Evi Sri Rezeki—penulis buku Twiries sekaligus saudara kembar dari Kak Eva Sri Rahayu. Lantas, apakah yang akan Kak Evi ini katakan? Dan, seperti apakah sudut pandang Kak Evi sebagai penulis terhadap ‘keramaian’ ini?


EVI SRI REZEKI - PENULIS

Salah satu buku tulisannya adalah TwiRies

yang ia tulis bersama saudara kembarnya Eva 

Menurut Evi…..

1.       Menurut saya rendahnya minat baca karena tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang kurang merata di Indonesia. Rendahnya juga fasilitas membaca di kalangan masyarakat. Jangankan untuk membeli buku, untuk makan saja harus bekerja keras. Meskipun kesadaran akan pendidikan sekarang sudah meningkat, namun karena anak-anak seolah ‘dipaksa’ membaca buku paket, mereka menganggap membaca kegiatan yang formal dan berat. Solusinya, menyediakan fasilitas perpustakaan di berbagai wilayah. Sebagai pihak penyedia fasilitas juga hendaknya membuat kegiatan yang ringan, interaktif, dan menyenangkan agar orang-orang mau datang ke perpustakaan seperti story telling. Bagi orang-orang yang mampu, buatlah perpustakaan pribadi untuk teman dan kerabat terdekat.

Sistem membaca yang asyik menurut saya adalah membaca buku sesuai dengan umur. Misalnya anak-anak membaca majalah anak, komik, atau novel anak. Selain itu, membaca sesuai dengan minat masing-masing. Anak-anak yang beranjak dewasa akan bisa memilih buku bacaan sesuai kebutuhannya baik itu secara keilmuan mau pun hiburan. Ambil hati dan perhatian orang barulah minat membaca akan terbangun. Khususnya di tingkat anak-anak karena kelak merekalah yang akan melestarikan budaya membaca.

2.       Menurut saya kasus plagiarisme dalam dunia literasi bisa terjadi karena unsur ketidaksengajaan. Solomon pernah berkata, tidak ada yang baru di dunia ini. Faktor banyaknya referensi bacaan bisa mengaburkan ingatan dari mana kita pernah mendapat suatu gagasan atau ide. Namun ini tidak bisa menjadi pembenaran karena referensi yang menjadi ide atau gagasan suatu penulis biasanya dari referensi yang berkesan dalam hati dan pikiran. Dalam sebuah workshop yang saya hadiri, seorang editor pernah mengatakan pada seluruh peserta jika satu gagasan diambil penulis dari sebuah buku, maka itu adalah plagiarisme, berbeda jika mengambil beberapa gagasan dari beberapa buku, maka akan terlahir sebuah ide yang baru.


Sumber: DI SINI

Sejujurnya, saya merasa bahwa seorang penulis bisa membohongi orang lain atau pembaca tapi tidak akan bisa membohongi hati nuraninya. Visi seorang penulis akan menuntunnya pada karya yang orisinil di tengah hiruk pikuknya dunia industri literasi. Tujuan penulis membuat karya, berbagi gagasan dan pandangan menjadi lentera seorang penulis untuk tidak terjebak plagiarisme.

Agar seorang penulis tidak dituding sebagai plagiat adalah menyebutkan referensi yang menyertai karyanya. Bisa juga menyebutkan siapa saja penulis terdahulu yang berpengaruh terhadapnya. Bentuk penjelasan referensi ini bisa berupa kata pengantar, catatan penulis, atau catatan kaki.

3.    Menurut saya tindakan pembakaran dan pelarangan peredaran buku ini merugikan penulis. Setiap buku mengandung ilmu pengetahuan dan penulis membutuhkannya untuk referensi. Kekayaan tulisan penulis berbanding lurus dengan banyak jenis buku yang dia baca. Saya sangat sepakat bahwa buku adalah alat yang efektif untuk menyebarkan ideologi, pemikiran, dan ajaran. Menjadi ‘miring’ itu sebenarnya tergantung pemahaman individu pembacanya. Seperti pisau, kita bisa menggunakannya untuk memasak atau membunuh, namun tak lantas kita menghilangkan pisau dari muka bumi ini. Pemahaman fungsi pisau itulah yang mesti berbagai pihak tanamkan.

Sumber: DI SINI 

Cara yang efektif dari bakar buku menurut saya sebenarnya sudah kita temui yaitu mengategorikan buku sesuai usia. Anak-anak membaca buku anak, remaja membaca buku remaja. Dan ketika pembaca dewasa membaca apa saja, dia toh sudah dewasa untuk memutuskan baik buruknya suatu buku. Buku miring yang oleh sebagian pihak dianggap sumber penyimpangan sebenarnya hanya ilmu pengetahuan. Jika ada tindakan yang menyertai setelah membaca buku tersebut pastilah ada sumber ketidakpuasaan dalam sistem tatanan masyarakat. Atau pemikiran menggebu yang pada waktunya pembaca akan bisa memahami lebih bijak.

Nah, bagaimana readers? Menarik, bukan? Aku rasa permasalahan ini sedikit demi sedikit mulai menemui titik terang, apalagi kita bisa banyak tahu dari penulis buku langsung. Ok, dari apa yang sudah dituliskan oleh Kak Evi, ada satu hal yang wajib kita garis bawahi. Yaitu pada poin nomor 2 perihal plagarisme dalam dunia sastra. Aku—dan mungkin juga kalian—pasti akan menyetujui apa yang sudah dikemukan Kak Evi yaitu tentang gagasan atau ide. Bahwasanya, di dunia ini tidak ada yang baru. Kita berpikir, berimajinasi dari satu gagasan yang cenderung sama. Hanya saja, yang membedakannya adalah bagaimana cara kita mengolah ide atau gagasan tersebut. Mau kita apakan ide ini? Mau kita bagaimanakan gagasan ini? Up to you. Semua keputusan ada di tanganmu. Dan yang terpenting, berusahalah to be creative person!

Ok, berdasarkan dari semua pembicaraan dengan ketiga narasumber di atas, kita jadi bisa menyimpulkan inti permasalahan dan solusinya satu persatu. Pertama, pada poin minat baca. Seperti yang sudah aku tuliskan tadi—dan apa yang sudah disampaikan Kak Luckty—permasalahan sebenarnya bukan kepada ‘orang yang tidak suka membaca’, tapi lebih kepada kesesuaian konteks buku terhadap si pembacanya. Jika tidak sesuai, maka kemungkinan besar hal ini juga akan merujuk pada minat baca masyarakat yang menjadi rendah. Jadi, intinya pilihlah buku dengan konteks yang kamu kuasai, dan yang kamu inginkan. Harapannya, semoga kita bisa mendapat kenyamanan saat membaca. Aku suka bagaimana Kak Luckty sebagai pustakawan memandang dan menyikapi permasalahan ini dengan bijak.

Poin kedua, adalah menyangkut plagiarisme buku—baru saja aku jabarkan tadi. Dari Kak Evi kita bisa belajar untuk memperbanyak referensi bahan bacaan dan mengumpulkan gagasan-gagasan menarik yang nantinya harus kita olah sedemikian rupa. Demi menghindari kemiripan suatu karya, seseorang harus pandai-pandainya menemukan ‘ramuan baru’ untuk gagasan yang sudah ia dapatkan. Dengan begitu, kemungkinan akan karya kita disebut mirip dengan milik orang lain akan semakin kecil. Bukan begitu, Kak Evi? Sebuah pemikiran yang bagus dari seorang penulis demi ‘menyelematkan’ banyak orang yang baru ingin berkarya di luar sana.

And the last. Sahabat kita Hanida sudah memberikan pernyataan mengenai permasalahan pembakaran buku pada poin nomor 3. Intinya, sebagai pelajar, Hanida sangat tidak mendukung aksi ini. You know lah, seberapa pentingnya buku untuk pelajar? Dan, meski pada nyatanya ajaran-ajaran ‘miring’ pada buku itu memang, pelajar tidak perlu mengkhawatirkan itu. Asal, mereka memiliki pendirian, pemahaman, dan keyakinan yang kuat untuk tidak terpengaruh dari hal-hal ‘miring’ yang dibacanya.

Well, berakhir sudah postingan—diskusi—kita kali ini. Ach’s Book Forum sangat ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk ketiga narasumber hebat: Hanida, Kak Luckty dan Kak Evi. Terima kasih atas waktu dan jawaban-jawaban terbaiknya. And the last, terima kasih buat kamu yang menyempatkan waktunya untuk membaca tulisan—curahan hati—kami ini. Semoga dari hasil postingan ini, kalian—readers atau pun penikmat buku—bisa memetik manfaatnya, ya. Harapan untuk ke depannya, semoga dunia perbukuan mau pun literasi Indonesia makin mengudara dengan kualitas yang…. Kece!

Terima kasih!

          

Salam Pembaca Buku Indonesia!


25 komentar:

  1. Semoga dunia literasi kita makin terang benderang ^^ Terima kasih artikelnya, Bintang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, terang seperti bintang ya, Kak? Haha. Sama-sama Kak. Thanks juga atas kesediaannya jadi narsum :D

      Hapus
  2. Sayangnya sih lingkunganku belum bisa seperti lingkungan Kak Luckty :( Bikin iri deh~ wkwkwk Orang-orang di sekitarku minat bacanya masih rendah banget. Padahal bisa dibilang dari kaum yang harusnya beli buku tuh udah gausah mikir lagi deh. Cuman ya gitu. Mending duit buat clubbing, minum2, hedon daripada baca buku. (sedih)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaahhh sama berarti keadaan lingkungan kita. Kadang miris, banyak orang yang mengkonotasikan pembaca buku itu cupu. Geram rasanya. Gimana literasi kita ngga jalan di tempat coba?

      Hapus
  3. btw, artikelnya bagus Bin! :D

    BalasHapus
  4. Wah, tulisannya udah diposting. Makin tetap semangat membaca ya, Bintang. Dan terima kasih atas kesempatan untuk wawancaranya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Mbak, lega banget pas tulian ini bisa publish, hehe. Makasih juga buat kk Luckty untuk waktu dan jawaban2nya. Semangat membaca!

      Hapus
  5. banyak faktor ya yg menyebabkan minta baca rendah, plagiasi dll. shg perlu dibenahi bersama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yupp. Sebagai generasi penerus bangsa semoga kita bisa mengatasinya ya, hehe

      Hapus
  6. Postingannya bermanfaat banget.
    Kebayang serunya kalau kita kumpul buat diskusi langsung ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Kak Eva.

      Hehe, iya nih pengin kumpul2 bareng. Tapi jauuhh

      Hapus
  7. Bagus artikelnya Bintang, dan menurutku ini terstruktur kayak paper, mungkin karena kamu masih sekolah jadi biasa bikin jurnal ya :-). Dari isi artikel aku ga masalah, mungkin bisa dipersingkat beberapa bagian jadi tidak terlalu panjang juga.

    Terkait minat baca rendah, aku lebih suka main data karena kadang dari observasi semata bisa saja tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya secara riil. Coba sekali - kali Bintang bikin survey kecil - kecilan yang disebar di sekolahmu. Jadi datanya bisa lebih valid lagi ya

    Eniwei, ini hanya opiniku saja, dari pendapat teman kamu yang ini:

    "Budaya baca buku yang umumnya dilakukan pelajar, sekarang sudah diganti dengan gagdet yang dilengkapi dengan fitur-fitur sosmed atau pun game yang mengasyikkan. Apalagi sekarang banyak ebook-ebook yang dianggap orang lebih praktis."

    Apa menurut teman Bintang, membaca ebook dianggap seperti tidak membaca buku karena kepraktisannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siiaapp, terima kasih banyak Kak untuk masukan-masukannya.

      Oya Kak, terkait apa jawaban temanku itu, maksud dia begini Kak: Sebenarnya antara ebook atau buku cetak sama aja, tetap membaca. Hanya saja, yang membedakan adalah karena ebook ada dalam bentuk gadget. Hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang akan lebih tertarik menggunakannya sebagai mainan daripada baca ebook. Lagi pula, jika kita melihat ke lingkungan sosial kan, lebih banyak orang mengoptimalkan gadget sebagai alat ber-sosmed kan daripada baca ebook?

      Kurang lebih begitu Kak, :)

      Hapus
  8. halo bintang, salam kenal :D
    seneng sama artikelnya, rapi banget. kapan aku bisa bikin yang kayak gini? *salah fokus*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Kak.

      Hehe, makasih banyak. Ini aku juga masih belajar kok Kak. Ini aja pertama kali aku bikin. Ayo Ka Wenny juga bikin, ntar aku baca, hehe

      Hapus
  9. Hi Bintang! Bagus tulisannya, lengkap dan jelas :) Aku suka cara kamu mewawancarai orang dari berbagai profesi dan latar belakang, sehingga kita bisa membedakan pandangan seorang siswa sekolah, pustakawan dan penulis. Oiya, aku juga pas bahas tentang pembakaran buku di blogku hehe.. toss :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak Kk Astrid. Hehe, iya kita sama ya? Toss*

      Hapus
  10. rapi banget tulisannya, bagus :)

    BalasHapus
  11. Artikelnya lengkap, dengan narasumber yang menyentil pembaca dengan kutipannya. Yup, aku juga sedikit kurang setuju kalau minat baca kita rendah. Yang jelas mungkin akses kepada bukunya yang susah sehingga banyak yang belum tahu kalau membaca itu menyenangkan. Semangat ya Bintang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, bener banget Mas. Terutama untuk mereka yang di luar Jawa, akses buku cenderung sulit dan jauh.
      Terima kasih sudah berkunjung Mas Dion :))

      Hapus
  12. iya juga sih, minat baca buku di Indonesia ternyata masih kurang ya mas. :(
    salut bisa wawancara sampai 3 narasumber sekaligus. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ayo kita tegakkan minat baca sama-sama. makasih ya sudah berkunjung :))

      Hapus
  13. Minat baca. Kadang2 minat baca rendah gara-gara ortu juga. :) Sering lihat nih kalau lagi di toko buku atau pameran buku. Si anak udah riang gembira milih buku, eh si ortu malah bilang, "Ngapain beli buku aja? Baca aja kamu belum lancar. Nih, buku mewarnai aja." Euh, justru karena belum lancar ya mestinya distimulasi terus supaya makin lancar dan makin suka.

    Perpustakaan sekolah juga. Seperti yang kata Luckty. Isinya banyak yang drop-dropan dari atas tanpa melihat kesesuaiannya dengan minat dan kebutuhan siswa.

    Eh, udah ngoceh panjang aja saya :) Salam kenal ya, Bintang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahhh ngga nyangkan bakal dikomenin sama penulis Ailurofil, hehe. Salam kenal juga Kak Triani Retno. Makasih uda berkunjung.

      Hapus